Hok Lay Malang: Nostalgia Lewat Fosco, Cwimie, dan Lunpia





Ada dua tempat makan (hahahaha sorry but not sorry) yang gue incer di Malang. Sudah hampir dua tahun gue meninggalkan Malang, kota ini udah berkembang pesat aja. Banyak warung, kafe, ruko, dan kosan baru di mana-mana. Hihihi.

Karena gue berlangganan blog bang Jiewa, jadilah gue tahu kalau di Malang ada resto bernama Hok Lay. Gak tanggung-tanggung, resto ini ternyata udah berdiri sejak 1946! Nah loh.. kemana aja gue kok nggak tau ya? Hahaha keasyikan nongkrong di warung bakso mulu sih. Lokasi Hok Lay ada di Jalan KH Ahmad Dahlan. Dari arah alun-alun menuju pasar besar, belok kiri sampai ketemu pertigaan lagi belok kiri, ketemu perempatan yang ada bakso rame di pojok belok kanan. Nah di kanan jalan deh nanti pasti kelihatan restonya.


Jalannya sih nggak sepi-sepi amat ya, apalagi di daerah Pasar Besar Malang (PBM) itu emang rame banget. Jalan itu penuh sama toko dengan bangunan kuno ala Belanda. Resto Hok Lay ini sendiri juga masih terasa nuansa londo-nya. Jadul dan vintage-ish gitu deh.

Gue dan adik gue yang dari pagi udah keliling Malang cari kosan buat dia karena doi mulai kuliah bulan depan, segera menyeret diri kami *halah* ke Hok Lay. Adek gue pasrah aja diajak kemanapun. Laper dan capek! Gue udah agak was-was karena hasil googling sebelumnya, Hok Lay hanya buka sampai siang dan buka lagi sore menjelang maghrib. Alhamdulillah, sampai di sana ternyata masih buka. Dan rame! Wiiih!




Kami segera memesan makanan. Adek gue memilih nasi goreng, gue memilih cwimie, seporsi lunpia Semarang khas Hok Lay, dan tiga botol fosco. Katanya siiiih fosco ini enak, makanya gue langsung pesan tiga.



 




Tidak lama, fosco dan nasi goreng adek gue dateng. Disusul dengan cwimie pesanan gue. Rasanya?

Hmmm.

There's nothing really surprising kayak yang gue baca di blog-blog hasil gue googling tentang Hok Lay. Bukan nggak enak, it's just not surprising, like surprisingly very good. Telur dadar di nasi gorengnya mirip sama bikinin adek gue. Lembut dan nggak begitu asin. Nasi gorengnya juga kayak bikinan Ibuk gue. Cwimienya... mie yang gue makan kayak agak overcooked. Nggak terlalu mendal, begitu digigit langsung lumer putus. Ayamnya juga biasa, seperti ayam di mie pangsit kebanyakan. Dengan harga segitu, menurut gue sih ini agak mahal. Nasi goreng yang emang porsinya separuh nasi goreng 8rb-an yang biasa gue beli, jelas langsung tandas disikat adek gue.

Fosco-nya?

Ini juga yang gue heran. Kirain rasanya bakal full cream atau cokelatnya terasa banget. Ini emang lebih terasa karamelnya. Yang lebih mengherankan lagi, this is also not surprising. Gue dulu pernah dibikinin minuman sejenis ini oleh almarhumah Yangti gue. Rasanya pun nggak jauh beda. It's not bad, really. It's good, but not surprising.

Setelah makanan dan fosco-fosco kami habis, gue menunggu datangnya lunpia pesanan. Eeeh ternyata mereka lupa menyediakannya untuk kami. Karena keburu sore, gue meminta lunpia pesanan kami dibungkus aja.

Lagi! Gue nggak terkejut.

Begitu sampai di kosan di Surabaya, gue langsung buka dong lunpianya. Enak! Tapi... nggak ngagetin. Kayak perasaan ketika lo mikir 'yummm enak!' atau 'omggg this is it!' ketika lo nemu makanan enak. Malah gue berpikir 'lah kok mirip bikinan Yangti dan Ibuk (lagi)?'. Hahahaha. Saus tauconya malah lebih enak punya Ibuk gue *dikeplak*.

Well. Hok Lay is not bad. It's just not surprising. It's just surprisingly nostalgic. Like, it reminds you of your homemade foods from home. :)

Oh ya total makan berdua gue dan adek gue kemarin segini nih:


Comments

Popular Posts