Ramadhan Berkesan itu Kembali Pada Ketundukan



Seringnya bertemu akan mematikan rasa. Itulah suatu rumus kehidupan yang banyak kita temui dalam kehidupan kita. Seringnya bertemu dengan keluarga, membuat kita lupa bahwa kita sebenarnya mencintai mereka. Seringnya melakukan aktivitas pekerjaan di kantor, membuat kita lupa bahwa ada goals yang ingin kita capai. Begitu pula dengan bulan Ramadhan. Semakin bertambah usia kita, perasaan bersemangat dan gempita mulai pudar, berganti dengan ekspektasi yang harus dipenuhi selama Ramadhan sampai lebaran. Sebagian kita bahkan lebih pusing mengurus tiket, rencana perjalanan, dan bekal mudik ketimbang persiapan untuk maksimal beribadah di bulan mulia itu sendiri. Sungguh berbeda dengan euforia masa kanak-kanak kita yang selalu menanti-nanti kapan datangnya bulan Ramadhan, karena bulan ini identik dengan kebersamaan, cerita-cerita unik pertama kali berpuasa dan shalat tarawih berjamaah, dan lain sebagainya.


Ada dua ibadah yang sangat ikonik pada bulan ramadhan yaitu puasa wajib dan shalat tarawih. Ada pula tilawah Al-Qur’an, karena bulan ramadhan adalah bulan diturunkannya kitab suci yang berisi firman-firman Allah ini. Namun yang paling lekat dalam benak kita pastilah puasa dan shalat tarawih. Jika ditelisik lebih jauh, dua ibadah ini adalah simbol ketundukan seorang hamba pada Tuhannya. Simbol ketundukan yang paling menunjukkan bahwa kita manusia adalah hamba.

Puasa adalah ibadah yang mengharuskan kita untuk bukan hanya menahan nafsu lapar dan dahaga dari adzan subuh sampai adzan maghrib, tapi kita juga dituntut untuk menahan berbagai nafsu dalam bentuk lain seperti amarah, luapan emosi, hasrat kepada pasangan, dan lain-lain. Bukankah ini simbol kelemahan dan ketundukan?

Begitu pula dengan shalat tarawih. Mungkin di luar ramadhan, sebagian kita menjalankan shalat wajib lima waktu saja tanpa menambah porsi dengan shalat sunnah. Namun di bulan ramadhan, shalat tarawih adalah ibadah yang hanya bisa dilakukan di bulan ramadhan, sehingga kita akan merasa sayang untuk melewatkannya. Bukankah shalat adalah simbol ketundukan? Ibadah yang mengharuskan kita untuk meletakkan mahkota tertinggi kita, anggota badan kita yang kalau disentuh dan dipermainkan oleh sesama manusia akan membuat kita merasa tersinggung, namun secara sukarela kita letakkan di tanah untuk menghamba pada Sang Pencipta? Bukan hanya 34 kali dalam sehari, pada bulan ramadhan porsi sujud ini bisa kita tambah minimal 22 kali dari shalat tarawih ditambah shalat witir. Belum lagi dengan shalat-shalat sunnah lain seperti tahajjud dan dhuha yang banyak dilakukan oleh umat Muslim di bulan penuh keberkahan ini.

Dua ibadah ikonik yang menjadi simbol ketundukan ini sudah sepatutnya menjadi renungan dan tamparan keras bagi kita bahwa kita hanyalah hamba. Bulan Ramadhan seharusnya menjadi momen pemecah ego dan kesombongan, momen pengakuan bahwa kita ini lemah dan butuh kepada Pemilik Semesta Alam. Sudah selayaknya ramadhan ini kita bangun menjadi lebih berkesan dengan hati yang bersih, hati yang penuh ketundukan, hati yang kembali berserah hanya kepada Allah semata.

Di masa pandemi seperti saat ini, kita sangat butuh bantuan Sang Pencipta untuk terus menjaga kita dan keluarga kita, bukan hanya dari potensi virus dan penyakit, tapi juga dari serangan mental yang kurang kondusif yang merusak konsentrasi ibadah kita di bulan Ramadhan. Bukankah hati-hati kita, kesehatan fisik maupun mental kita, semuanya ada dalam genggaman Tangan Allah? Sekuat apapun kita berusaha, jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada yang bisa mencegahNya. Ibadah akan terasa lebih nyaman dan tenang saat niat kita lurus dan hati kita lapang dada menerima apa yang Allah tetapkan. 

Kalaupun Allah tetapkan kita tidak bisa mudik, karena Pemerintah memberikan kebijakan demikian, maka yakini bahwa ini adalah momen ketundukan kita pada Sang Pencipta. Yakini bahwa pasti ada hikmah di balik takdir yang Allah tetapkan. Mungkin dengan tidak mudik, kita bisa melakukan berbagai aktivitas lain yang bisa dilakukan dalam kota–yang mungkin sebelumnya tidak pernah kita lakukan karena kesibukan kita. Seperti misalnya mempererat hubungan baik dengan tetangga (bukankah kita disunnahkan untuk berbuat baik pada tetangga?), eksplorasi wisata-wisata di kota kita, atau bahkan kita gunakan momen ini untuk beristirahat lebih banyak.

Dapat THR? Coba gunakan untuk memberi hadiah, mengirimkan makanan, atau sekedar mengajak keluarga kita untuk mencari suasana baru di luar rumah. Misalnya mengajak mereka menginap di hotel atau penginapan. Rancang aktivitas seru yang bisa kita lakukan, baik itu dilakukan sendirian di kota rantau, atau bersama keluarga di kota sendiri.

Semoga bermanfaat. Selamat menjadikan ramadhan kali ini menjadi ramadhan berkesan.



Comments

Popular Posts