Beda Jaman
![]() |
jenis tablet yang gue miliki, gambar hasil googling |
Berapa banyak dari generasi muda sekarang yang pernah merasakan serunya main benteng, gobak sodor, kelereng, congklak/dakon, dan bola bekel? Berapa banyak anak-anak usia bermain jaman sekarang yang tidak mengenal tablet, ponsel, PSP, dan sejenisnya?
Beberapa waktu yang lalu gue menghadiri acara keluarga di Jombang. Sepupu-sepupu gue yang masih kecil bukan lagi bermain lego atau bola bekel atau congklak seperti saat gue masih kecil dulu. Mereka bahkan sudah punya tablet masing-masing, saling memamerkan game dan score tertinggi mereka. Wow. Gue hanya bisa cengo diam-diam. Gue aja ya, yang udah kepala dua gini, baru punya tablet. Itupun gratissss. Kalau bukan karena memenangkan kontes beberapa bulan lalu, mungkin sampai sekarang gue masih nggak ngerti apa aja isi tablet. Itupun tablet yang gue dapet bukanlah yang sekelas iPad atau tablet keluaran Samsung yang harganya mahal itu.
Ada kisah lucu saat gue menceritakan kemenangan gue. Saat itu gue menjelaskan pada Ibuk bahwa gue memenangkan tablet secara gratis. Ibuk gue memang sudah paham apa yang dimaksud dengan tablet, yang lucu saat Bapak mendengar hal itu, beliau bertanya "tablet? obat apa?". Hahahaha! Saat itu gue hanya tertawa sih. Tapi tak lama kemudian gue semakin menyadari bahwa dunia ini berjalan sangat cepat. Sepuluh tahun yang lalu, ketika mendengar kata tablet yang terbayang di benak kita semua mungkin jenis atau bentuk dari obat. Lihat apa yang terjadi sepuluh tahun kemudian alias sekarang.
![]() |
keyword tablet dan muncul berbagai jenis tablet era sekarang |
Gue jadi bertanya-tanya, akankah gue memiliki reaksi yang sama dengan Bapak gue sepuluh tahun kemudian, ketika anak-anak gue punya mainan baru yang berbeda banget dengan mainan gue ketika gue masih kecil? Tablet dan games di dalamnya, menurut gue malah semakin menjauhkan mereka dari teman-teman mereka. Alih-alih bermain bersama, mereka justru akan terlalu asyik sampai lupa sekeliling. Mereka justru akan semakin sombong dan tamak saat menang, atau muncul perasaan iri dan kompetitif. Hell-o. Hanya demi game ya, bisa sampai begitu. Kalau kompetitif di akademik sih nggak masalah ya. Lah ini.......
Dan gue baru sadar bahwa permainan yang sering gue mainkan ketika masih kecil justru mengajarkan untuk saling kerjasama, untuk saling menolong, toleransi, dan mau mengalah. Contohnya saja saat main benteng, kita dituntut untuk taktis bermain tim. Dibutuhkan kerjasama yang kuat untuk memenangkan benteng lawan dan menjaga benteng tim kita sendiri supaya tak disentuh lawan. Permainan bola bekel, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. Kita dituntut untuk fair play, saat kita salah mengambil jumlah 'batu', kita harus mau bergantian giliran dengan pemain selanjutnya.
Ketika gue menonton ulang Reply 1997 dan Reply 1994, gue jadi kembali mengingat-ingat masa kecil gue. Dulu gue denger lagu favorit di radio aja seneng setengah mati, kemudian besoknya gue akan menunggu lagu kesukaan gue diputer lagi. Sekarang? Tinggal download dan dengarkan sepuasnya. Sampai bosan. Begitu seterusnya. Ah... jaman ini membuat kita jadi cepat bosan, ya? Nembak gebetan aja nggak perlu nunggu besok ketemu di sekolah atau bulan depan ketika kita berkunjung lagi ke kota tempat gebetan tinggal. Tinggal message via facebook, sms, atau email. "Mau nggak jadi pacarku?" and it's already ended. Betapa bosannya hidup di dunia yang serba mudah dan cepat ini. Nggak ada perasaan was-was atau membuncah senang ketika yang dinanti akhirnya datang.
Hal ini jadi mengingatkan gue semasa gue masih punya sahabat pena. Duluuuuu mau kirim surat aja ketika berangkat sekolah, gue harus rela jalan kaki muter jauh supaya bisa menitipkan surat-surat gue di kotak pos. Belum lagi ketika gue harus menghemat uang saku demi membeli perangko dan kertas surat warna-warni. Nothing can beat that butterfly-in-my-stomach feeling setiap ada surat balasan nangkring di bawah pintu rumah. That was probably one of my best event in my life. Sejak kenal friendster dan email, udah jarang lagi berkirim surat karena prosesnya yang cukup lama. Lama kelamaan... kotak surat di pertigaan jalan itu sudah menghilang. Gue nggak tahu, gimana menggambarkan perasaan kecewa gue saat itu.
Kembali lagi ke mainan keponakan dan sepupu gue.
Gue takut saat gue sudah punya anak, mereka nggak akan kenal lagi dengan yang namanya seesaw, ayunan, atau congklak. Gue takut karena gue nggak bisa selamanya memfilter yang mereka lihat di internet atau tv. Gue pengen mereka merasakan serunya hidup tanpa internet meski hanya sehari-dua hari. Gue ingin itu.
pictures below from tumblr (got it from kuntawiaji and isnidalimunthe)
Comments
Post a Comment