Haruskah Kardus Ini Kubuang?

There's him in that group picture
and me the first time wearing kerudung

"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013."

Mantan?

Sepertinya ini kali pertama gue ngomongin dan menceritakan (alm) mantan gue. Pertama kali pacaran, dulu banget waktu masih SMP kelas 7. Itupun atas dasar paksaan sahabat-sahabat gue terutama si Vita tuh yang getol banget ngerecokin “pacaran sanaaaa buat pengalaman aja!”. Heck, bahkan si Vita yang mengiyakan ajakan pacaran si mantan yang dikirim via surat. Lucu sih, gue aja nggak ngerasa pacaran, eeeh tiba-tiba aja dideklarasikan oleh teman-teman gue bahwa gue dan si mantan udah jadian. Karena gue juga sungkan sama si mantan yang tak lain adalah sahabat gue sendiri, akhirnya gue iyain aja.

Aneh. Selama jadian, hubungan kami jadi aneh. Biasanya dia sering banget ngusilin atau ngegodain gue. Biasanya dia sering main ke rumah dengan dalih belajar kelompok. Tapi sejak jadian, kami malah agak menjauh. Boro-boro berduaan, lah ketemu di jalan aja langsung saling balik kanan maju jalan! Masih inget banget kami sering disindir karena bukannya ngobrol berdua, malah saling mengindar satu sama lain. It was super awkward especially when your bestfriends terus-terusan ngusilin. Plus, Ibuk gue kan juga guru di SMP tempat kami menimba ilmu. So.. yeah. Awkward is the best word to describe our condition.

Cheesy. He’s one of the cheesiest people I’ve ever known. Meski kami nggak pernah ngobrol, tiba-tiba aja gue akan nemu surat dia di tas gue atau dia akan buru-buru menjejalkan surat di tangan gue tanpa ketahuan siapapun. Isinya? Gitu deh, gaya anak SMP. Pernah dia ngasih surat isinya lirik lagu bikinan dia sendiri yang too sweet to be true. Gue membaca liriknya aja rasanya malu banget. Lebih malu lagi waktu gue lewat depan kelas dia, tiba-tiba dia main gitar genjrang-genjreng sama temen-temennya dan dia nyanyiin itu lagu sambil ketawa-ketawa. Sialan. He seemed enjoying my reddened face that time. Isssh.

Sudah gue bilang kan, kalo dia seneng ngusilin gue? Tiba-tiba aja dia bilang gue gendut lah, gue item lah, gue galak lah… Tapi temen-temen dia pernah cerita sama gue kalo di depan temen-temennya, dia justru memuji gue habis-habisan. Silly.

Oh, dia juga yang ‘menghasut’ gue untuk menutup aurat. Tiba-tiba aja dia bisik-bisik di sebelah gue, tanya kenapa gue nggak pake kerudung. Karena gue anak yang aktif ekskul, gue jawab aja “pake kerudung itu gerah, nggak bisa gerak bebas,” coba tebak apa jawaban dia?

“Yah, sayang banget. Harusnya yang liat cantiknya kamu yang begini ya cuma yang memiliki kamu aja.”

Tiga bulan kemudian, gue memutuskan untuk berteman aja sama dia. Gue merasa kurang nyaman, sejak kami pacaran hubungan kami justru jadi kurang akrab dan jujur saja, gue kangen akan kebersamaan kami yang dulu. Gue masih inget wajahnya yang mengendur, lalu tersenyum ikhlas dan menyetujui permintaan gue. Parahnya, hubungan kami ternyata nggak bisa balik seperti dulu. Kami semakin menjauh.

Dan suatu siang beberapa tahun kemudian, ketika gue akan berangkat kuliah, Vita mengabarkan bahwa dia meninggal karena paru-paru basah.

I didn’t love him as a boyfriend, but clearly, he has spot inside my heart and it’s irreplaceable until now. Move on itu nggak gampang jika harus menggantikan sosok yang terlampau oke di masa lalu kita.

***

PS:  Semua surat dia hilang saat gue ngekos ketika SMA.