Review Novel: Me Before You

Title: Me Before You
Author: Jojo Moyes [ twitter / website ]
Link: Goodreads
Language: English
Excerpt: The clock is running. Make the most of today. Time waits for no man. Yesterday is history. Tomorrow is a mystery. Today is a gift. That's why it is called the present. -Anon




Realistis dan tissue-needed.

Itu sih yang paling pas banget buat menggambarkan novel ini. Gue udah dua kali baca novel ini, despite of jumlah halamannya yang tebel, dan herannya gue pun masih nangis untuk kali kedua ketika membacanya. Beda jauh dengan Tangled yang bikin ngakak dan diselimuti perasaan berbunga-bunga, baca novel yang ini tuh rasanya... Damn. So this is how life works. Teori kun fayakun tuh terbukti di sini. Betapa Tuhan itu Maha Kuasa, segala hal yang tadinya bagus dan sempurna, bisa berubah menjadi rusak tak berguna di detik berikutnya.

Gue awalnya males baca karena tebel banget! I mean, duh isinya apaan aja sih sampe setebel ini? Toh paling juga boy meets girl, terus mereka jatuh cinta dan muncul konflik menye-menye, dan tamat. Selesai. Tapi kok si Jia itu lhooo bolak-balik aja ngequote dari novel ini dan berkali-kali pula dia bilang "Aduh kak ini bukunya bagus kak, baca aja deh kak!". Dasar gue suka penasaran, akhirnya gue tengok ke goodreads dan wow! Surprise, surprise! Responnya lumayan rame ya. Ratingnya juga bisa dikatakan tinggi. Gue pun memutuskan untuk membaca.

Setting awal cerita, dikisahkan tentang Will Traynor, cowok sempurna yang punya kehidupan yang sempurna pula. Ganteng, mapan, dari keluarga berada, punya pacar yang juga cantik dan almost perfect.. pokoknya dunia dia tuh isinya pelangi semua. Mendung aja enggan mampir. Tapi yaaaa di situ awalnya. Di situ awal teori kun fayakun (jadi, maka jadilah!) itu terbukti. Tuhan tinggal menjungkirbalikkan dunia serba pelangi itu ke dunia yang penuh dengan badai dan mendung. Kali ini, bahkan cahaya matahari pun enggan mampir.

Setting berubah menjadi dua tahun kemudian, kali ini terfokus pada Louisa Clark. Dia harus bekerja demi keluarganya karena beberapa alasan. Dia menerima tawaran pekerjaan yang menurutnya agak aneh. Bayarannya tinggi, tapi dia hanya diminta untuk menemani seseorang. Uhm, not exactly menemani aja sih, tapi dia juga harus bersedia membantu memenuhi kebutuhan seseorang tersebut. Karena gajinya yang gede, akhirnya Lou menerima pekerjaan itu. Ternyata, dia harus menemani penyandang cacat bernama Will Traynor. Cowok itu... hampir bisa dikatakan nggak berguna. Makan aja harus disuapin karena dia nggak bisa gerak. Totally lumpuh di atas kursi roda yang canggih. Belum lagi kondisi psikisnya yang memang agak... rusak. Suka marah gak jelas dan bisa dikatakan hampir gila.

Butuh kesabaran ekstra untuk seorang Lou menghadapi Will Traynor. Meski lumpuh, otak Will masih bisa jalan banget, heck dia malah bisa dikatakan cerdas banget dilihat dari cara dia ngomong dan wawasan yang dia punya. Dan menurut Nathan, dokternya, Will itu nggak bisa bener-bener sembuh lagi seperti sedia kala.

Nah kebersamaan itu yang bikin mereka lama-lama jatuh cinta. Padahal si Lou sebenernya juga udah punya pacar. Mau gimana lagi? Witing tresno jalaran saka kulina itu kan memang bener. Will ngebantu banyak hal untuk Lou, dan tentu saja Lou karena dia dibayar untuk merawat Will, juga sudah menunaikan tugasnya dengan baik.

Tapi ternyata ada satu hal yang disembunyikan Will. Dia ingin mati. Dia berniat untuk melakukan sejenis eutanasia di dignitas. Nggak ngerti gimana proses dan penjelasan lebih jauh tentang itu, yang gue tangkep adalah: Will ingin mati. Emang sih, apa yang berguna dari dia? He's as good as a living corpse. Dia udah nggak bisa ngapa-ngapain dan malah merepotkan orang lain, kenapa dia nggak mati aja? Keputusan dia untuk melakukan eutanasia sudah bulat.

There have been times when I’ve stayed over and he’s woken up screaming because in his dreams he’s still walking and skiing and doing stuff and just for those few minutes, when his defences are right down and it’s all a bit raw, he literally can’t bear the thought of never doing it again. He can’t bear it. I’ve sat there with him and there is nothing I can say to the guy, nothing that is going to make it any better. He’s been dealt the shittiest hand of cards you can imagine. And you know what? I looked at him last night and I thought about his life and what it’s likely to become … and although there is nothing I’d like more in the world than for the big guy to be happy, I … I can’t judge him for what he wants to do. It’s his choice. It should be his choice.

Jelas aja, Lou yang baru tahu tentang hal itu jadi panik setengah mati, yet dia nggak berani ngomong langsung ke Will. Waktu gue baca part di atas, ketika Lou cerita ke Nathan dan Nathan membalasnya dengan kata-kata itu.... gue jadi langsung makjleb sakit banget. Bener juga. Dulu Will itu punya segalanya, dia bahkan masih bisa lari-lari di mimpi tapi ternyata ketika bangun keadaannya udah begini.

Lou bertekad mengubah jalan pikir Will. She wants him to give them a chance. Lou yang udah sayang banget sama Will, bersedia deh nemenin Will meskipun Will nggak sempurna, asal dia nggak mati. Tapi apa daya, bahkan setelah mereka liburan bareng pun, Will tetap nggak merubah keputusannya. Lou jelas marah dan sedih banget, dia menolak ketemu Will padahal 'deadline' udah makin deket.

Selama baca buku, gue juga berharap banget. Apapun kek! Mau ada kun fayakun kedua, kasih Will keajaiban sembuh gitu kek... Tapi ternyata nggak. Penulisnya nggak tertipu dengan teori happily-ever-after yang ditawarkan dongeng-dongeng. Happily-ever-after itu ada, tapi tergantung definisi pribadi masing-masing. Mungkin itu yang bikin gue mewek ya. Ah, emang dari tengah cerita sih gue udah mewek-mewek gitu. Tapi lagiiii harus diakui, emang gue nangis kejer pas di ending tuh. Waktu Will mau 'bunuh diri', mereka masih cuddling gitu. Lou juga nyiumin si Will, berharap Will berubah pikiran di detik terakhir. Mereka terdiam cukup lama dan akhirnya si Will bilang, "Can you call my parents in?" ......ACK! KENAPA?! KENAPAAAA?!

Terus di lembar berikutnya ada semacam surat pernyataan yang menyatakan bahwa keinginan Will telah dieksekusi dan dipenuhi. Means? Will udah meninggal. Monyeeeet, bikin gue ngabisin tissue begini dengkul dada semua tubuh gue rasanya sakit ditusuk-tusuk.

Gak tau lagi deh. So far, novel ini adalah novel sad ending yang paling bikin gue nyesek dan terhantam banget sama realita. Gue antara sebel dan suka banget sama karakter si Will. Mungkin kalau yang datang bukan Lou, yang masih bingung dengan jati diri dan terkungkung dengan ekspektasi keluarga, mungkin Will bakal berubah pikiran. Masalahnya karakter si Lou itu ngambang banget, dia pengen ngelakuin beberapa hal tapi nggak bisa karena keadaan menahan dia. Dia bahkan nggak tahu apa yang dia pengen, makanya Will menyayangkan banget hal itu. Will pengen Lou mengeksplor banyak hal, keliling dunia dan traveling ke banyak tempat... seperti yang dia lakukan dulu. Because he knows exactly how it felt, dan karena dia sayang banget sama Lou, dia pengen Lou merasakan hal itu. Gimana rasanya hidup.

"Don’t think of me too often. I don’t want to think of you getting all maudlin. Just live well.
Just live."

Waktu baca surat terakhir si Will ini juga, gue nangis lagi. Apalagi di bagian akhir itu. Just live well. Clearly, emang kita jangan pernah nyesel ya. This is the reason why we have to live to the fullest, because tomorrow is uncertain. Lo nggak akan pernah tau apa yang akan terjadi besok, atau bahkan semenit kemudian. Kita nggak pernah tau. Just live well.

A must read book! Let me know what you think about this one, later. Dan oh, jangan lupa tissue ya. Hehehe.


Update:
Me Before You akan segera difilmkan! Dunanges kenapa pula harus pake lagunya Ed Sheeran yang Photograph HUHUHU.
Tonton trailernya di bawah ini:


Comments

Popular Posts